"Gengs. Whatever it takes, mau kalian jadi atau gak, gua akan berangkat sendiri."
"Wah, lu gila bang!"
***
Semua berawal dari kegalauan.
Oh, well, i should admit it.
Setelah sebuah kejadian life-changing-moment besar di pertengahan tahun lalu, kehidupan gua yang damai bak diserang negara api. Sayangnya gua bukan avatar, hingga membuatnya berantakan hanya dalam waktu satu bulan.
Karena gua termasuk orang yang menjadikan kegalauan sebagai alasan buat naik gunung, so, yang langsung dipikirin adalah i need to go up there supersoon. Wherever. Whenever.
Sejak saat itu gue bepergian tanpa kenal lelah setiap bulan, kayak ke Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Gede (lagi), curug sana-sini, pokoknya sejauh kaki gua mampu melangkah. Sejauh duit gua mampu membayar. Yakali minta dibayarin Raja Arab!
Good thing,
Di setiap perjalanan, gua menemukan satu per satu alasan untuk mengakhiri keterpurukan gua. Sahabat-sahabat baru yang bacot, trek gunung brengsek yang bikin nyerah tapi harus bangkit lagi, puncak-puncak gunung penuh lautan awan, so ya, i've moved on.
And it works, at least for me.
Then, gua mikir harus buat batu lompatan. Yang jauh dan mahal sekalian.
Opsi pertama gua: Kerinci.
I really wanna go there from 2014. Tapi kok ya gak sampe-sampe. Hingga kini.
Then, opsi kedua gua: Annapurna, Himalaya, Nepal.
But, i think of money. Njir. Kalau baca-baca di internet dari blog sana sini, kok ya nayamul banget spendingnya. Tapi, kayaknya lucu juga ya ujug-ujug ke sana?
"Gengs. Beli tiket sekarang, harga tiket cuma 3 jutaan PP Jakarta-Kathmandu!"
Ada beberapa orang yang silently gua ajakin trip geje ke Annapurna, Nepal.
"Sip, gua langsung nih beli juga!" kata Meizal
"......"
"Harus pake paspor dulu ya?"
"......ya masa pake daun pisang."
"....gua gak punya paspor."
"Bye zal!"
***
Sebulan kemudian.
"Jadi, siapa di antara kalian yang udah beli tiket?"
Hening.
"Gua kemarin mau beli bang, tapi baliknya jadi mahal banget." kata Cinay
"....kan gua bilang juga ap..."
"Gua juga bang, tapi duit gua belum turun.." timpal Apri.
Lalu kembali hening.
***
"Gengs, ini itinnya yah!"
"Cen, gua masih bingung nih mau beli tiket dari Indonesia apa dari Bangkok, gua nonton Coldplay dulu..." timpal Zicco.
"Yea, right." jawab gua hambar. Sehambar perasaan gua tahun lalu.
Hening lagi. Kayaknya omongan gua sebelum grup Nepal geje ini terbentuk bakal jadi kenyataan.
***
"Cen, gua pindah kantor nih, duh semoga gua dapet izin cuti ya...." kata Raisa, sahabat gua sejak kuliah, satu-satunya cewe di grup Nepal, satu-satunya orang yang udah beli tiket PP juga.
"DEMI APA?"
"Duh gimana ya, Cen? I need to go there, but i need to take this new offer, too. Huhu."
"Yaudah, gua udah ikhlas sejak awal kalau gua sendiri."
Memang dari awal gua udah berencana pergi sendiri, jadi saat gua harus sendirian, no hard feelings.
Toh gua sudah terlalu lama sendiri. Kayak uji nyali. Lha, sedih.
Emang kebiasaan sih, kalau apa yang direncanakan jauh-jauh hari malah bisa gagal semua dengan beragam alasan. Ya ketemu temen lama lah, ya ngetrip bareng lah, ya menikah. Eh, yang terakhir belum pernah ngerasain sih, masih bujang. Wkwk.
But then, entah gimana cara, Raisa akhirnya bisa meyakinkan orang-orang kantor baru untuk melepasnya pergi.
***
Catatan di Udara, 14 April 2017, 07.00 WIB
Catatan di Udara, 14 April 2017, 07.00 WIB
"Anjir gua jadi grogi gini!" ujar gua di atas ketinggian puluhan ribu kaki, saat burung besi bernama Malindo Air membawa gua dan Raisa menuju negeri Jiran, Malaysia.
"Yaelah. Gua mah udah grogi seminggu sebelum jalan kali." kata Raisa selaw.
Perjalanan ke Nepal ini memang bikin perasaan gua kembang kempis.
Waktu abis beli tiket, excited banget mau ketemu salju dan teman-temannya padahal masih berbulan-bulan lagi.
Abis itu, sampai hari H keberangkatan, gua malah sama sekali gak excited. Kayak, oh gua mau ke Nepal nih? Lho besok gua jalan nih? Gua bawa apa aja ya? Kok gua belum packing?
Kemudian woles lagi. Lalu di pesawat heboh lagi. Rasanya tuh kayak deg-degan tapi gak, pengen kayang campur pengen meneteskan air mata perlahan, sama perut mules tapi gak pengen beol. Duh, gua kayak anak gadis baru haid hari pertama.
Eh gitu gak sih rasanya?
Eh gitu gak sih rasanya?
***
Seperti yang udah dibilang di tulisan sebelumnya, gua dapat tiket PP murah pakai Malindo Air ke Nepal. Segala sesuatu yang murah pasti ada harga resiko yang harus dibayar, entah itu pesawatnya mirip metromini, wc-nya jongkok, atau pramugarinya galak. Tapi gak kebayang sih ada wc jongkok di pesawat, wkwk.
Untungnya, resiko yang gua pikul ((PIKUL)) cuma waktu tunggu yang lama. Iya, gua musti transit selama 8 jam di Malaysia. Repeat. 8 jam.
Untungnya lagi, Negeri Jiran bukanlah negara yang asing buat gua. Sejak tergabung dalam Malaysia Tourism Hunt, gua jadi sering banget ke Malaysia secara gratis dan punya banyak kolega di sana. Salah satunya adalah Nisa Kay, seleb-internet di Malaysia yang kebetulan bisa meluangkan waktunya buat nemenin gua dan Raisa selama transit di Kuala Lumpur.
Seperti yang udah dibilang di tulisan sebelumnya, gua dapat tiket PP murah pakai Malindo Air ke Nepal. Segala sesuatu yang murah pasti ada harga resiko yang harus dibayar, entah itu pesawatnya mirip metromini, wc-nya jongkok, atau pramugarinya galak. Tapi gak kebayang sih ada wc jongkok di pesawat, wkwk.
Untungnya, resiko yang gua pikul ((PIKUL)) cuma waktu tunggu yang lama. Iya, gua musti transit selama 8 jam di Malaysia. Repeat. 8 jam.
Untungnya lagi, Negeri Jiran bukanlah negara yang asing buat gua. Sejak tergabung dalam Malaysia Tourism Hunt, gua jadi sering banget ke Malaysia secara gratis dan punya banyak kolega di sana. Salah satunya adalah Nisa Kay, seleb-internet di Malaysia yang kebetulan bisa meluangkan waktunya buat nemenin gua dan Raisa selama transit di Kuala Lumpur.
Nisa - Nico - Raisa |
Cukup berkeliling Kuala Lumpur bersama Nisa, gua dan Raisa kembali ke KLIA (in case you don't know, adalah singkatan dari Kuala Lumpur International Airport) dan menanti waktu terbang yang....
...delay.
Sialan. Udah happy-happy, pakai delay segala.
Seharusnya kami terbang jam 18.00, eh baru terbang jam 21.00, disertai dengan drama-drama para Tenaga Kerja asal Nepal (yang kemudian disebut TKN, capek nulisnya tau) yang mau pulang ke negaranya diomelin sama petugas ground Malindo gara-gara:
1. Udah ngantri panjang x lama, eh serombongan TKN tadi gak ada tuh yang inisiatif buka-buka jam tangan, jaket, sabuk, dan segala yang harus dilepaskan sebelum masuk ke kubus x-ray. Diomelin. Kan bisa aja mereka gak tahu yak?
2. Setelah beberapa TKN berhasil masuk, ada lebih dari satu TKN yang diomelin gara-gara bawa dua koper ke kabin, seharusnya masuk bagasi. Diomelin. Udah gitu didenda (kalo gak salah denger) 100RM per koper. Kesian :(
3. Akibat teman di depannya diomelin, pas gilirannya baik-baik saja, dia malah mematung, kayak nunggu apa gitu. Trus diomelin juga: "Ngapain dimari? MASUK SANAH!", gitulah kira-kira.
Huhu kasian.
Gua yang ada di belakangnya cuma jadi saksi ahli kengenesan mereka.
Udah kelar?
Belum.
Drama TKN ini berlanjut di dalam pesawat.
Saat masuk pesawat dan keos banget karena ternyata banyak pisan TKN yang 'pulang kampung' (dan sepertinya baru pertama naik pesawat), tiba-tiba dari belakang ada dua TKN menyeruak menuju kerumunan penumpang yang lagi ribet naro barang-barangnya ke bagasi kabin.
"Heh mau kemana?" kata pramugari
"Mau keluar bentar.." jawab TKN berkulit gelap berbaju hijau ngejreng sambil kipas-kipas pake duit, niatnya mau pamer. Gadeng becanda.
"Mau ngapain? Ini lagi ribet, udah duduk aja lagi sono.." kata pramugari lagi dengan sabar
"Mau beli jajan bentar..." jawab TKN
"HEH! LO KATA KERFUR?? DUDUK!" kemudian si pramugari kehilangan kewarasannya.
Gua juga.
***
Catatan di Udara, 14 April 2017, 22.00 WBM (Waktu Bagian Malaysia)
"Demi apa kita dapet makan? Icha!"
Jerit gua tertahan.
Gua gak pernah menyangka, naik pesawat ekonomi sekelas Malindo Air, yang sodaranya Lion Air, ngasi makan di dalam penerbangan! Enak lagi bisa milih ayam apa sayur! Tanpa perlu bayar-bayar lagi kayak di Air Asia! Bisa nambah minum! Puja kerang ajaib!
*lari-lari kecil di kabin*
*digebuk awak kabin*
"Kayaknya emang penerbangan jauh pasti dapet makan deh, Cen." jawab Icha, panggilan unyunya Raisa.
"Demik? Gua baru kali ini naik pesawat lama sih. Asli, ba-ha-gia!"
Makes sense sih kalau ini disebut penerbangan panjang. Soalnya dari Malaysia ke Nepal makan waktu sekitar 4 hingga 5 jam. Dari ngobrol, duduk biasa aja, nonton film, sampai ngeliyep hampir ketiduran. Brengseknya, setiap kali gua ngeliyep, udah mau landing aja. Huhu, kenapa gak dari abis makan aja sik ketidurannya?
***
Catatan di Nepal, 15 April 2017, 00.30 WBN (Waktu Bagian Nepal)
Demi dewa-dewi yang turun dari khayangan, berkat delay-nya pesawat eug, akhirnya kami tiba di Tribhuvan Airport, Kathmandu tepat jam 00.30 pagi waktu Nepal. Sumpah pusing banget baru bisa ngeliyep malah nyampe.
Tapi ada perasaan haru menyeruak setelah menginjakkan kaki di bandara. Akhirnya sampai Nepal juga, cuy!
Awalnya gua sama Icha kepengen banget foto-foto alay di tulisan Tribhuvan Airport, berhubung udah pagi buta mata sepet masi ngantuk pula, gua mengurungkan niat. Soalnya burung udah terkurung nyaman di celana.
Tentang bandara, menurut gua bandara internasional Nepal masih agak 'vintage' dan kurang terawat. 100x lipat bagusan bandara Soekarno-Hatta. Tapi ya namanya di negara orang, nikmatin aja yakan.
Sampai bandara kita bakal diribetin dua hal:
a. Ngisi dokumen buat visa on arrival, isinya kebanyakan soal biodata sekaligus tinggal dimana kita selama di Nepal, tujuannya apa, berapa hari bakal stay, masih jomblo apa gak, follow siapa aja di instagram. Gitu-gitu deh.
b. Bayar visa on arrival. Kalau mau tinggal sampai 15 hari, harganya 25$. Kalau kepengen coba peruntungan dagang cilok di Nepal dengan maksimal 30 hari tinggal, bayar 40$. Lumayan, balik modal. Bayarlah pakai USD, biar gak ribet.
Selesai.
Habis itu gua harus nukerin duit di money changer bandara agar bisa melanjutkan kehidupan di Nepal. Ya, kita gak bisa nukar Nepali Rupee dimanapun selain di negaranya. Kebetulan, harga 100 Nepali Rupee = 1 USD = Rp13.500. Biar gampang ngitungnya.
Waktu gua nukerin dua lembar uang seratusan USD, yang masih bikin sakit hati sampe sekarang, coba bayangin, uang berjuta-juta rupiah cuma jadi dua lembaran dollar. Sakit hati abang, dek. Selembar aja ilang, nangis miskin abang dek!
Dua lembar 100 USD = 20.000 Npr.
Dan gua terkejut. Setelah duit Nepal mendarat di tangan gua yang lembut.
Duitnya kayak abis dipakai maksiat. Kriwil, item, jelek, bahkan ada yang diselotip.
YATUHANQU PANUTANQU IDOLAQU BOSQU APA INI MASIH LAKU??
"Woles ae mas, ini masih laku kok, robek dikit juga diterima." kata mas-mas money changer menjawab kengerian yang terpampang nyata di wajahagak ganteng gua.
"Ah, sa ae, lu. Bye!" teriakku dalam hati. Lagi.
***
Setelah semalaman berjibaku bolak-balik nawar harga taksi dari Tribhuvan Airport demi ke Thamel, yang mana kata blog-blog lain harganya cuma 500 Npr, pada kenyataannya adalah 800 Npr, itu udah paling murah dan dibilang fixed rate. Kemungkinan besar harga 500 Npr adalah saat gak peak season. Pas gua kemarin emang katanya masih peak season 2 jadi nayamul laham apa-apa di sana.
Hotel gua di Thamel, namanya Trekkers Home, harganya cuma 1000 Npr, udah pesan jauh-jauh hari waktu di Indonesia, gua kira tempatnya bakal fancy....
...ternyata sama persis kayak hotel melati.
Yaudah sik, cuma 130 ribu rupiah ngarepin apa. But yeah, orang Nepal emang ramah-ramah, berkat penjaga hotelnya, gua bisa dapet tiket turis bus dari Kathmandu - Pokhara cuma 900 Npr aja (yang mana katanya seharga 1200an Npr, yang mana akhirnya gua tau harga aslinya ternyata cuma 600-700 Npr, kampret lu mas!).
Dia bilang:
"Lu beruntung banget, hari Sabtu begini biasanya turis udah keabisan bis ke Pokhara. Nih ada buat dua orang, 900 Npr. Ada wifi, ac, dapet welcome drink pula. Executive class punya lah. Kumaha?" katanya si mas penjaga hotel, gua lupa namanya.
"Yaudah aing ambil deh, lumayan welcome drink."
"Oke, deal."
Sianying ternyata gua jadi rugi 200 Npr. Wkwk. Yaudah, anggap aja ongkos bantuin nyari bis.
Ahhhhh... dasar sari alang-alang!
Ini bis mah di Jakarta mirip sama Mayasari Bakti jurusan Jakarta Bekasi! Gembel! Malah masih bagusan Mayasari Bakti, adem!
Soal welcome drink, kita dapet air minum seliter, lumayan. Soal wifi, mending pura-pura gak tau kalo ada wifi biar gak sakit hati. Soal ac, ada sih, tapi yang muter justru kipas angin kecil dekat jendela, but yeah, since lagi ujan, jadi gak terlalu butuh juga sih ac.
Bagusnya, tourist bus ini memang cuma berangkat sekali sehari dari Kathmandu - Pokhara jam 7.00 pagi, dan tepat waktu. Karena hujan gede, dimana seharusnya gua bisa berjalan kaki dari hotel ke tempat bus, daripada telat, akhirnya musti pake taksi seharga 250 Npr.
Pas taksinya sampe, hujannya berenti. Alam emang kadang sebecanda itu. Dasar mbah dukun!
Namanya lagi di negara orang, pertama kalinya, masih norak, meski berniat irit, akhirnya gua malah makin menghamburkan uang makin banyak. Kayak beli air minum lagi, beli cokelat buat di jalan, sarapan pake roti keras-hambar-dingin seharga 100 Npr yang gua beli di pedagang depan bis, eh lalu ada tukang asongan yang jual roti lebih anget-lembut-manis pas gua tanya malah cuma 60 Npr.
Huhu kasihanilah aku yang bawa duit pas-pasan ini ya Tuhan.
Sepanjang perjalanan dari Kathmandu ke Pokhara, gua rasa-rasanya kayak de javu sama pemandangannya. Gak asing. Gak aneh. Familiar. Ternyata....
...delay.
Sialan. Udah happy-happy, pakai delay segala.
Seharusnya kami terbang jam 18.00, eh baru terbang jam 21.00, disertai dengan drama-drama para Tenaga Kerja asal Nepal (yang kemudian disebut TKN, capek nulisnya tau) yang mau pulang ke negaranya diomelin sama petugas ground Malindo gara-gara:
1. Udah ngantri panjang x lama, eh serombongan TKN tadi gak ada tuh yang inisiatif buka-buka jam tangan, jaket, sabuk, dan segala yang harus dilepaskan sebelum masuk ke kubus x-ray. Diomelin. Kan bisa aja mereka gak tahu yak?
2. Setelah beberapa TKN berhasil masuk, ada lebih dari satu TKN yang diomelin gara-gara bawa dua koper ke kabin, seharusnya masuk bagasi. Diomelin. Udah gitu didenda (kalo gak salah denger) 100RM per koper. Kesian :(
3. Akibat teman di depannya diomelin, pas gilirannya baik-baik saja, dia malah mematung, kayak nunggu apa gitu. Trus diomelin juga: "Ngapain dimari? MASUK SANAH!", gitulah kira-kira.
Huhu kasian.
Gua yang ada di belakangnya cuma jadi saksi ahli kengenesan mereka.
Udah kelar?
Belum.
Drama TKN ini berlanjut di dalam pesawat.
Saat masuk pesawat dan keos banget karena ternyata banyak pisan TKN yang 'pulang kampung' (dan sepertinya baru pertama naik pesawat), tiba-tiba dari belakang ada dua TKN menyeruak menuju kerumunan penumpang yang lagi ribet naro barang-barangnya ke bagasi kabin.
"Heh mau kemana?" kata pramugari
"Mau keluar bentar.." jawab TKN berkulit gelap berbaju hijau ngejreng sambil kipas-kipas pake duit, niatnya mau pamer. Gadeng becanda.
"Mau ngapain? Ini lagi ribet, udah duduk aja lagi sono.." kata pramugari lagi dengan sabar
"Mau beli jajan bentar..." jawab TKN
"HEH! LO KATA KERFUR?? DUDUK!" kemudian si pramugari kehilangan kewarasannya.
Gua juga.
***
Catatan di Udara, 14 April 2017, 22.00 WBM (Waktu Bagian Malaysia)
"Demi apa kita dapet makan? Icha!"
Jerit gua tertahan.
Gua gak pernah menyangka, naik pesawat ekonomi sekelas Malindo Air, yang sodaranya Lion Air, ngasi makan di dalam penerbangan! Enak lagi bisa milih ayam apa sayur! Tanpa perlu bayar-bayar lagi kayak di Air Asia! Bisa nambah minum! Puja kerang ajaib!
*lari-lari kecil di kabin*
*digebuk awak kabin*
"Kayaknya emang penerbangan jauh pasti dapet makan deh, Cen." jawab Icha, panggilan unyunya Raisa.
"Demik? Gua baru kali ini naik pesawat lama sih. Asli, ba-ha-gia!"
Makes sense sih kalau ini disebut penerbangan panjang. Soalnya dari Malaysia ke Nepal makan waktu sekitar 4 hingga 5 jam. Dari ngobrol, duduk biasa aja, nonton film, sampai ngeliyep hampir ketiduran. Brengseknya, setiap kali gua ngeliyep, udah mau landing aja. Huhu, kenapa gak dari abis makan aja sik ketidurannya?
***
Catatan di Nepal, 15 April 2017, 00.30 WBN (Waktu Bagian Nepal)
Demi dewa-dewi yang turun dari khayangan, berkat delay-nya pesawat eug, akhirnya kami tiba di Tribhuvan Airport, Kathmandu tepat jam 00.30 pagi waktu Nepal. Sumpah pusing banget baru bisa ngeliyep malah nyampe.
Tapi ada perasaan haru menyeruak setelah menginjakkan kaki di bandara. Akhirnya sampai Nepal juga, cuy!
Awalnya gua sama Icha kepengen banget foto-foto alay di tulisan Tribhuvan Airport, berhubung udah pagi buta mata sepet masi ngantuk pula, gua mengurungkan niat. Soalnya burung udah terkurung nyaman di celana.
Tentang bandara, menurut gua bandara internasional Nepal masih agak 'vintage' dan kurang terawat. 100x lipat bagusan bandara Soekarno-Hatta. Tapi ya namanya di negara orang, nikmatin aja yakan.
Sampai bandara kita bakal diribetin dua hal:
a. Ngisi dokumen buat visa on arrival, isinya kebanyakan soal biodata sekaligus tinggal dimana kita selama di Nepal, tujuannya apa, berapa hari bakal stay, masih jomblo apa gak, follow siapa aja di instagram. Gitu-gitu deh.
b. Bayar visa on arrival. Kalau mau tinggal sampai 15 hari, harganya 25$. Kalau kepengen coba peruntungan dagang cilok di Nepal dengan maksimal 30 hari tinggal, bayar 40$. Lumayan, balik modal. Bayarlah pakai USD, biar gak ribet.
Selesai.
Habis itu gua harus nukerin duit di money changer bandara agar bisa melanjutkan kehidupan di Nepal. Ya, kita gak bisa nukar Nepali Rupee dimanapun selain di negaranya. Kebetulan, harga 100 Nepali Rupee = 1 USD = Rp13.500. Biar gampang ngitungnya.
Waktu gua nukerin dua lembar uang seratusan USD, yang masih bikin sakit hati sampe sekarang, coba bayangin, uang berjuta-juta rupiah cuma jadi dua lembaran dollar. Sakit hati abang, dek. Selembar aja ilang, nangis miskin abang dek!
Dua lembar 100 USD = 20.000 Npr.
Dan gua terkejut. Setelah duit Nepal mendarat di tangan gua yang lembut.
Duitnya kayak abis dipakai maksiat. Kriwil, item, jelek, bahkan ada yang diselotip.
YATUHANQU PANUTANQU IDOLAQU BOSQU APA INI MASIH LAKU??
"Woles ae mas, ini masih laku kok, robek dikit juga diterima." kata mas-mas money changer menjawab kengerian yang terpampang nyata di wajah
"Ah, sa ae, lu. Bye!" teriakku dalam hati. Lagi.
***
iya, mas-mas hotelnya lebih ganteng dari gua :( |
Hotel gua di Thamel, namanya Trekkers Home, harganya cuma 1000 Npr, udah pesan jauh-jauh hari waktu di Indonesia, gua kira tempatnya bakal fancy....
...ternyata sama persis kayak hotel melati.
Yaudah sik, cuma 130 ribu rupiah ngarepin apa. But yeah, orang Nepal emang ramah-ramah, berkat penjaga hotelnya, gua bisa dapet tiket turis bus dari Kathmandu - Pokhara cuma 900 Npr aja (yang mana katanya seharga 1200an Npr, yang mana akhirnya gua tau harga aslinya ternyata cuma 600-700 Npr, kampret lu mas!).
Dia bilang:
"Lu beruntung banget, hari Sabtu begini biasanya turis udah keabisan bis ke Pokhara. Nih ada buat dua orang, 900 Npr. Ada wifi, ac, dapet welcome drink pula. Executive class punya lah. Kumaha?" katanya si mas penjaga hotel, gua lupa namanya.
"Yaudah aing ambil deh, lumayan welcome drink."
"Oke, deal."
Sianying ternyata gua jadi rugi 200 Npr. Wkwk. Yaudah, anggap aja ongkos bantuin nyari bis.
Ahhhhh... dasar sari alang-alang!
Ini bis mah di Jakarta mirip sama Mayasari Bakti jurusan Jakarta Bekasi! Gembel! Malah masih bagusan Mayasari Bakti, adem!
Soal welcome drink, kita dapet air minum seliter, lumayan. Soal wifi, mending pura-pura gak tau kalo ada wifi biar gak sakit hati. Soal ac, ada sih, tapi yang muter justru kipas angin kecil dekat jendela, but yeah, since lagi ujan, jadi gak terlalu butuh juga sih ac.
Bagusnya, tourist bus ini memang cuma berangkat sekali sehari dari Kathmandu - Pokhara jam 7.00 pagi, dan tepat waktu. Karena hujan gede, dimana seharusnya gua bisa berjalan kaki dari hotel ke tempat bus, daripada telat, akhirnya musti pake taksi seharga 250 Npr.
Pas taksinya sampe, hujannya berenti. Alam emang kadang sebecanda itu. Dasar mbah dukun!
Namanya lagi di negara orang, pertama kalinya, masih norak, meski berniat irit, akhirnya gua malah makin menghamburkan uang makin banyak. Kayak beli air minum lagi, beli cokelat buat di jalan, sarapan pake roti keras-hambar-dingin seharga 100 Npr yang gua beli di pedagang depan bis, eh lalu ada tukang asongan yang jual roti lebih anget-lembut-manis pas gua tanya malah cuma 60 Npr.
Huhu kasihanilah aku yang bawa duit pas-pasan ini ya Tuhan.
Sepanjang perjalanan dari Kathmandu ke Pokhara, gua rasa-rasanya kayak de javu sama pemandangannya. Gak asing. Gak aneh. Familiar. Ternyata....
"Eh, yakin nih kita di Nepal bukan di Wonosobo??"
"HAH?"
Bersambung ke Seri 2.
Disclaimer:
Karena perjalanan Annapurna cukup panjang, tentu saja gak akan bisa gua selesaikan dalam satu tulisan, maka dari itu, gua buat series setiap minggu, biar postingan baru Jalanpendaki bisa kamu tunggu-tunggu.
Peace, luv, and thank you.
Comments
Post a Comment